Rifai, Ahmad and Naka, Setia (2017) Pembelajaran dan Kampanye Lingkungan. Universitas PGRI Semarang. (In Press)
Text
penelitian rifai.rtf Download (73kB) |
|
Text
Pembelajaran dan Kampanye Lingkungan.pdf Download (16kB) |
Abstract
Dunia pembelajaran kita tak akan pernah terpisahkan dari sebuah kampanye kebaikan yang dituang seorang guru di dalam kelas. Dalam prosesnya kampanye tersebut menjadi sebuah tindakan yang berupaya untuk membentengi para siswa dalam menjalani kehidupan. Setidaknya, dalam tempaan yang dilalui siswa di sekolah dapat menjadi pondasinya, agar kelak tidak goyah ketika mereka benar-benar terjun di dunia masyarakat. Mereka diharapkan menjadi generasi yang tangguh dan memiliki sikap yang jelas dalam menyongsong kedaulatan diri, beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terkait kampanye tersebut, penulis bersama tim telah melakukan sebuah penelitian yang mengangkat Komunikasi Sosial dalam Sastra Hijau sebagai Kontribusi Kampanye Lingkungan pada Pendidikan Dasar. Bidikan utamanya adalah menyuarakan kembali kampanye lingkungan ke hadapan siswa, khususnya siswa yang masih berada di jenjang pendidikan dasar. Mengingat, saat-saat ini telah marak terjadi kasus tindak kerusakan hutan. Setiap hari, hutan-hutan di Indonesia ini semakin terkikis, semakin habis oleh tangan-tangan orang tak bertanggung jawab. Melalui teks sastra, sebuah novel Tangis Rembulan di Hutan Berkabut karya S. Prasetyo Utomo yang mengangkat tema kehidupan masyarakat di daerah hutan. Hal ini tentu akan menjadikan pembelajaran lebih menarik di hadapan para siswa. Pembelajaran yang ditawarkan melalui sebuah kisah, tentu akan sangat mudah menyusup ke hati dan benak mereka. Meskipun, kerap dikatakan bahwa ini adalah pembelajaran yang kuno. Namun tetap tidak bisa kita pungkiri, bahwa para siswa masih akan tetap tergugah jika disuguhi pembelajaran melalui cerita. Apalagi jika kisah tersebut erat kaitannya dengan kisah-kisah tokoh yang begitu setia dan rela berkorban dalam menjalankan sebuah tugas yang tidak sebatas sebagai sebuah pekerjaan semata. Dalam novel tersebut begitu lekat dengan kisah-kisah beraroma sastra hijau (ekosastra). Dalam lingkup ini, sastra hijau dimaksudkan sebagai sastra yang menyuarakan cinta dan pelestarian kekayaan lingkungan. Mengisahkan berupa-rupa perilaku manusia yang berhadapan dengan idealisme untuk alam. Meskipun dalam novel tidak mengisahkan hal-hal positif yang begitu gamblang saja, yang sudah biasa dan sangat diketahui siswa. Misalnya dengan menampakkan gerakan masyakarat yang menanam pohon atau penghijauan. Bahkan, dalam novel sama sekali tak nampak hal tersebut. Dalam novel mengisahkan banyak hal terkait laku pengrusakan yang dilakukan oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab. Mengenai kehidupan warga di perkampungan kawasan hutan yang terjadi penggusuran lahan untuk pembangunan. Tergambarkan pohon-pohon hutan yang dibabat oleh pemilik modal untuk digunakan sebagai perumahan-perumahan baru. Dengan harapan, siswa pada jenjang pendidikan dasar akan diajak untuk berpikir kritis terkait kampanye yang disuarakan. Melalui contoh kisah dengan cerita pengrusakan lingkungan, akan membuat mereka berkomentar dan memberikan solusi. Dikisahkan Prasetyo (2009), Pada hamparan tanah luas bekas hutan kebun dan sawah, di sisi hutan karet yang dibabat, mulai didirikan rumah-rumah baru. Truk datang membawa bahan bangunan, terguncang dengan bak sarat muatan. Truk itu kosong sewaktu meninggalkan tepi hutan jati. Kuli-kuli bangunan dengan tubuh legam bersimbah keringat, membangun rumah-rumah dan gedung baru. Tercengang, aku cemas memandangi alam yang tersayat luka. Para siswa diajak untuk memasuki pada narasi yang diharapkan dapat menyayat dadanya. Seruan dari pengajar pun harus berupaya untuk menggiring mereka masuk, dengan cara pengisahan dan upaya penjelasan pada setiap bagian/penggalan kisah dalam novel. Tentunya, pelan-pelan mereka akan masuk dan berterima atas kisah-kisah tersebut. Bahwasanya bagi mereka, hutan tetap menjadi keutamaan hidup. Hutan yang lebat, penuh pepohonan yang tidak hanya menjaga makhluk hidup yang tinggal di hutan semata, namun mampu menjaga segenap warga hidup di dunia. Dalam pengisahan lain, Prasetyo menegaskan pada penggalan berikut. Kulihat burung-burung terbang dengan suara terusir dari sarangnya. Di sepanjang tepian jalan, rumah-rumah mulai dibangun, bukan lagi berdinding papan kayu. Dulu hampir semua rumah berdinding kayu, terutama kayu jati yang ditebang dari dalam hutan. Bentuk bangunan rumah yang dulu sama, hampir serupa, kini mulai berbeda-beda. Beberapa penggalan pengisahan tersebut dapat menjadi bukti yang menunjukkan dengan gamblang, bahwasanya novel tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah upaya untuk mengkampanyekan cinta dan pelestarian terhadap alam lingkungan (hutan) yang diharapkan dapat menjadi pijakan masyarakat, khususnya bagi siswa jenjang pendidikan dasar. Jenjang pendidikan yang berisi generasi penerus bangsa yang masih perlu ditanami nilai-nilai kebaikan sebagai pondasi hidup. Sesungguhnya, pembelajaran karakter serupa ini tidaklah hanya diperlukan dan dijalani oleh pengajar bahasa dan sastra semata. Kisah-kisah serupa ini, terkait sastra hijau (okosastra) dapat menjadi dijadikan sebagai salah satu nutrisi bagi pengajar lain, khususnya para pengajar Ilmu Pengetahuan Alam. Sudah tentu, melalui pengisahan-pengisahan yang ditanam dalam setiap intermeso mengajarnya, para siswa akan semakin tergugah untuk senantiasa menjaga keutuhan lingkungan. Keutuhan segala sumber hidup yang harus diperjuangkan untuk kebutuhan hidup segenap makhluk hidup di dunia ini. Ahmad Rifai dan Setia Naka Andrian, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang
Item Type: | Other |
---|---|
Subjects: | L Education > L Education (General) |
Divisions: | Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni > Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia |
Depositing User: | Usis Prasetyo Aryanabih |
Date Deposited: | 28 Feb 2020 08:00 |
Last Modified: | 28 Feb 2020 08:00 |
URI: | http://eprints.upgris.ac.id/id/eprint/601 |
Actions (login required)
View Item |