Sejarah Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan Dalam Lima Masa

Purnamasari, Iin and Soegeng, A.Y. (2024) Sejarah Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan Dalam Lima Masa. Universitas PGRI Semarang.

[img] Text
sejarah pendidikan lima masa komplit.pdf BU IIN.pdf

Download (46MB)

Abstract

sejarah Pendidikan dan Budaya di Indonesia mencakupi masa: Kejawen, pengaruh budaya Hindu (agama Hindu dan Budha), pengaruh budaya Islam, pengaruh budaya Barat (agama Kristen dan Katolik) dan penjajahan Jepang serta setelah Indonesia merdeka. Pendidikan merupakan interaksi pendidik dengan peserta didik, untuk mencapai tujuan dan kemudian juga harapan pendidikan; dimulai dengan pendidikan informal dan nonformal, kemudian juga pendidikan formal. Pembicaraan ini fokus pada peran pendidik (guru) dan institusi pendidikan serta budaya yang dihasilkannya. Sebelum adanya pengaruh dari luar, guru dikonotasikan dengan seorang Resi, Begawan, Pertapa, Pandita, yang mengajarkan ilmu kebatinan/kerohanian kadigdayan dan kanuragan serta keluhuran budi pekerti kepada para cantrik atau pengikutnya di padhepokan/pratapan di hutan, bukit atau gunung yang sunyi dan dianggap suci. Sistem ini berlanjut melalui sinkritisme, asimiliasi dan akulturasi dengan budaya pendatang, baik Hindu-Budha maupun Islam yang dikenal sebagai Kejawen; bahkan, saat ini, guru dapat disebut sebagai “resi modern” yang memiliki kompetensi gabungan antara seorang rohaniwan, ilmuwan, dan seniman. viii Sejarah Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Dalam Lima Masa Pengertian “guru” dalam agama Hindu pemandu spiritual/kejiwaan bagi para muridnya, guru juga bisa berarti simbol bagi suatu tempat yang suci yang berisi ilmu (vidya). Dalam agama Budha murid memandang gurunya sebagai jilmaan dari Budha sendiri atau Bodhisattva yang memandu muridnya menuju jalan kebenaran. Sejarah Nusantara mencatat institusi pendidikan formal tertua didirikan di Kerajaan Sriwijaya antara 427–1197 SM, sekolah ini merupakan bagian dari Universitas Nalanda yang berada di sebelah tenggara Kota Patna, India. Salah satu universitas tertua di dunia ini pernah mengakomodasi kurang lebih 10.000 murid dan 2.000 guru yang berasal dari berbagai bangsa termasuk dari Sriwijaya. Mereka yang menuntut ilmu di sini belajar agama Budha dalam berbagai aliran terutama aliran Vajrayana, Mahayana, dan Theravada. Setelah sekolah itu hancur sejalan dengan mundurnya Kerajaan Sriwijaya, tidak ada lagi institusi pendidikan formal yang terorganisasi yang sifatnya internasional seperti sebelumnya. Sayangnya kita tidak memiliki referensi yang komperhensif mengenai institusi pendidikan misalnya di jaman kerajaan Kediri, Singasari, atau Majapahit. Kecuali hanya pengetahuan bahwa pada jaman itu ada guru-guru spiritual atau disebut “Mpu” yang menuliskan kisah-kisah sejarah maupun epos dan menjadi rujukan ilmu di padepokan-padepokan. Setelah agama Islam masuk ke Nusantara sejalan dengan munculnya kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, dan Mataram, muncul institusi pendidikan seperti pesantren yang berdiri secara mandiri di banyak daerah namun tidak terorganisasi dengan baik sehingga sangat tergantung pada figur pemimpin atau kiai- nya. Ketika itu secara umum pengertian dari kata “guru” berkembang sangatlah luas, bahkan alam dan pengalaman hidup pun bisa menjadi guru bagi kita. Namun secara spesifik yang dimaksud di sini adalah guru sebagai pengajar, sebagai seseorang yang melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada siswa-siswanya sehingga mereka yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak paham menjadi paham mengenai berbagai fenomena yang terjadi di sekitar mereka tidak hanya sebatas mengenai pengetahuan agama saja. Sampai dengan masa penjajahan Belanda seseorang yang dipanggil “guru” adalah seseorang yang memiliki ilmu lebih tinggi dalam bidang tertentu yang kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain misalnya seseorang yang mendalami agama Islam kemudian mengajarkan ilmu membaca kitab suci kepada orang lain disebut guru ngaji, atau seseorang yang pandai beladiri mendirikan padepokan pencak silat supaya orang lain bisa belajar silat disebut guru silat. Sejarah Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Dalam Lima Masa ix Institusi pendidikan muncul pada masa Kolonial. Pada tanggal 17 September 1901 Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek, Politik Balas Budi) yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi: 1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian. 2. Emigrasi atau pemerataan jumlah penduduk, mengajak penduduk untuk bertransmigrasi utamanya dari Jawa ke luar Jawa. 3. Edukasi, memperluas bidang pengajaran dan pendidikan pribumi. Munculnya kecenderungan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Tokoh-tokohnya adalah C.Th Van Deventer (politikus), E.F.E Douwes Dekker, dan Pieter Brooshooft (wartawan koran De Locomotief). Pengaruh Politik Etis untuk memajukan pendidikan terutama dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan adalah Mr. JH Abendanon (1852-1925) yang isterinya berkorespondensi aktif dengan R.A Kartini dan menginspirasi Kartini untuk mengajar dan mendirikan sekolah kecilnya sendiri. Surat- surat mereka diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Abendanon, menteri kebudayaan, agama, dan kerajinan Belanda selama 5 tahun (1900-1905). Selama masa ini berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa hampir di semua daerah. Namun kesadaran akan perlunya pendidikan bagi rakyat pribumi sudah jauh diungkapkan jauh sebelum itu, seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ario Hadiningrat mengenai ayahnya Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak pada tahun 1850-1866. Ario Hadiningrat bercerita kepada anaknya Pangeran Achmad Djajadiningrat, yang kemudian menjadi Bupati Serang mengenai kesadaran kakeknya tentang pentingnya pendidikan Dia dapat memahami keadaan dengan baik. Sudah sejak 1846, waktu belum ada pikiran buat memberikan pendidikan pada pribumi, bahkan pengajaran Eropa pun masih banyak celanya, ia telah ramalkan apa yang segera bakal terjadi. Ia ambil tindakan-tindakan untuk memberikan pendidikan pada putra- putranya, yang sama sekali tidak dipahami oleh rekan-rekannya, bahkan dicela pula oleh banyak orang. Pangeran Ario Tjondronegoro merupakan bupati pertama yang memberikan pendidikan kepada putra-putranya dengan jalan mendatangkan seorang guru ke x Sejarah Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Dalam Lima Masa rumah bagi mereka. Waktu itu Bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan, karena itu tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat diukur dari tinggi rendahnya pengetahuannya tentang bahasa Belanda. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada empat orang Bupati yang pandai menulis dan berbicara Belanda; P. A Achmad Djajadiningrat (Bupati Serang), R.M. Tumenggung Kusumo Utoyo (Bupati Ngawi), Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak, paman R.A Kartini), dan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara, ayah R.A Kartini). Sedang di Cirebon ada beberapa orang Bupati yang sedikit-sedikit saja mendapat didikan. Sedangkan, pemerintah Hindia Belanda mengakomodasi peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan ini terbatas untuk pendidikan warga Belanda saja dan segelintir warga pribumi terutama dari kelas sosial tertentu saja. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaan Belanda, yang diucapkan dalam pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting itu: irigrasi, transmigrasi, dan pendidikan. Setelah 1901 pendidikan relatif lebih merata dan setiap penduduk pribumi memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar. R.A Kartini mendirikan sekolahnya pada akhir 1903 di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang dan diteruskan oleh keluarga Van Deventer pada tahun 1912 dinamakan Sekolah Kartini. Pada tahun 1918 Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah formalnya Madrasah Muallimin Muhammadiyah sebagai sekolah kader di Yogyakarta, sedangkan Perguruan Taman Siswa lahir pada tanggal 3 Juli 1922 didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Sedangkan di Sumatera Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayutanam didirikan pada 1926 oleh tokoh pendidikan Sumatera, Muhammad Sjafei. Bagi warga elite Eropa waktu itu, seorang anak mendapatkan pendidikan dasar di ELS (Europeesche Lagere School) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Sekolah itu awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang- orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif dari sudut pandang pemerintah kolonial, maka ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja. Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 Sejarah Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Dalam Lima Masa xi dinamakan HIS- Holandsche Indlansche School), sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908. Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model Barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Sejak itu tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Selanjutnya pemerintah memberlakukan Politik Etis (Ethische Politiek), yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan. Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional pada pengetahuan duniawi. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem pendidikan tradisional. Adapun tujuan didirikannya sekolah bagi pribumi adalah untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Jika begitu, pemerintah Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional. Mereka tidak bisa bekerja baik di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat. Kehadiran sekolah-sekolah pemerintah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama. Kaum ulama dan golongan santri menganggap program pendidikan tersebut adalah alat penetrasi kebudayaan Barat di tengah berkembangnya pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pendidikan jaman Penjajahan Belanda bisa dikatakan sebagai salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu hal yang penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Pendidikan telah menghasilkan pemimpin-pemimpin pergerakan; dapat dikatakan bahwa “penjajah diusir oleh hasil pendidikan mereka sendiri”. Tanpa disenagaja, Belanda telah mendidik kaula Nusantara untuk merdeka; menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan pendidikan di Indonesia menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana (Wilhelmina) berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Ethische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan). Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan inggi. xii Sejarah Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Dalam Lima Masa Mereka yang hanya sekolah sampai di Volkschool atau Sekolah Rakyat juga cukup beruntung. Ketika Indonesia Merdeka tahun 1945, seperti tercatat dalam buku Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), angka buta huruf masih 90 persen. Sekolah hanya bisa dinikmati 10 persen penduduk saja. Sedangkan lulusan HIS biasanya melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara SMP, lalu dari MULO yang masa belajar tiga tahun akan berlanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) atau setara SMA selama tiga tahun. Lulusan sekolah ELS boleh lanjut ke HBS, di mana masarakat menjalani sekolah menengah selama lima tahun, hanya butuh waktu 12 tahun sekolah dan Jika melalui HIS, MULO lalu AMS, butuh waktu 13 tahun. Setelah lulus SMA baik AMS maupun HBS, mereka boleh masuk universitas di Belanda atau melanjutkan ke sekolah tinggi kedokteran bernama School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang dikenal juga sebagai Sekolah Dokter Jawa di Kwitang yang kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba. Selain sekolah kedokteran, di Betawi ada sekolah hukum bernama Recht Hoge School. Kampus hukum dan kedokteran kolonial itu belakangan menjadi fakultas- fakultas dari Universitas Indonesia. Ada juga sekolah pertanian atau Landbouw School di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Di bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang sekarang adalah Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan dalam hal karier orang pribumi dihambat ketika masuk dunia kerja, baik di swasta maupun pemerintahan. Karena banyak pribumi yang masuk HIS atau ELS di usia lebih dari 7 tahun alias telat sekolah, maka kesempatan kerja lulusan SMA pribumi berkurang. Dari pendidikan formal masa penjajahan tersebut berkembanglah sistem pendidikan nasional dalam masa Indonesia merdeka sebagaimana yang ada saat ini. Sejarah pendidikan tersebut juga meninggalkan jejak-jejak budaya, seperti: prasasti, bangunan suci keagamaan (candi, masjid, gereja, vihara), keraton, makam, seni, tari, karya sastera yang menjadi obyek (destinasi) wisata, termasuk wisata rohani/religios sampai saat ini. Demikianlah inti isi Sejarah Pendidikan Pengajaran dan Kebdayaan di Indonesia, yang mencakupi lima masa, yaitu: Masa Pengaruh Kejawen, Masa Pengaruh Hindu- Budha, Masa Pengaruh Islam, Masa Penjajahan, dan Masa Indonesia Merdeka.

Item Type: Book
Subjects: L Education > L Education (General)
L Education > LA History of education
Divisions: Pascasarjana > Pendidikan dasar (S2)
Depositing User: dosen upgris semarang
Date Deposited: 04 Jan 2024 04:02
Last Modified: 04 Jan 2024 04:11
URI: http://eprints.upgris.ac.id/id/eprint/2781

Actions (login required)

View Item View Item